Friday, February 11, 2011

Konferensi Pers FPI

Sudah sangat muak dengan organisasi anarkis yang mengatasnamakan Islam lalu memukuli, membunuh, menyerang, membakar, merusak dan melakukan perbuata-perbuatan tidak Islam lainnya? SAYA SUDAH.

Konon, pada suatu hari yang cerah, Front Pembela Islam (FPI) pernah menghelat konferensi pers terkait desakan pembubaran organisasinya. Berikut ini bunyinya:



*CENTRAL LEADERSHIP BOARD - ISLAMIC DEFENDERS' FRONT*


*DEWAN PIMPINAN PUSAT * FRONT PEMBELA ISLAM*


10 ALASAN PENOLAKAN PEMBUBARAN ORMAS:


  1. Pembubaran Ormas bertentangan dengan Demokrasi dan HAM.
  2. Pembubaran Ormas bertentangan dengan Konstitusi Negara Rl, karena UUD 1945 hasil amandemen Pasal 28 dan 28 E menjamin Kebebasan berserikat dan berkumpul.
  3. Pembubaran Ormas adalah bentuk otoriter penguasa yang membahayakan amanat Reformasi, bahkan menjadi bentuk pengembalian status quo Orde Baru.
  4. Pembubaran Ormas harus melalui mekanisme dengan proses tahapan yang jelas, seperti peringatan, pembinaan,pembenaha n, pembekuan dan pembubaran. Termasuk tidak mempersulit proses pendaftaran.
  5. Pembubaran Ormas bukan solusi untuk keluar dan tindak "kekerasan masyarakat", karena selama hukum tidak ditegakkan secara adil maka selama itu pula "kekerasan masyarakat" akan menjadi bahasa komunikasi yang tersumbat, atau bentuk protes sosial masyarakat, atau letupan phsycologis dari jiwa yang sudah muak dengan ketidak-ad i lan.
  6. Pembubaran Ormas tidak efektif, karena setiap kali suatu Ormas dibubarkan maka setiap kali itu pula Ormas tersebut bisa ganti nama sebagai Ormas baru.
  7. Pembubaran Ormas adaIah tindakan bodoh yang kontra produktif, karena akan menyuburkan Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) bahkan gerakan-gerakan bawah tanah yang tidak terkontrol.
  8. Pembubaran Ormas dengan dalih tidak berazaskan Pancasila adalah Pemasungan Demokrasi sekaligus Diskriminasi Kebebasan yang ironis, karena Orsospol saja yang bersentuhan langsung dengan politik dan sistem sudah dibebaskan dari kungkungan azas tunggal Pancasila, lalu kenapa Ormas masih harus dipasung dengan azas tunggal Pancasila
  9. Pembubaran Ormas dengan dalih tindak anarkis yang dilakukan massa / anggotanya adalah bentuk kesemrawutan penegakan hukum, karena pelanggaran pidana yang dilakukan siapapun sudah diatur sanksi hukumnya dalam KUHP, sehingga apabila ada masa / anggota suatu Organisasi melakukan tindak pidana maka si pelaku yang ditindak, bukan organisasinya. Dikecualikan jika suatu organisasi terbukti secara sistematiks melakukan makar terhadap negara, seperti pemberontakan, atau menjadi kaki tangan asing membahayakan NKRI, maka patut untuk dibubarkan.
  10. Pembubaran Ormas tidak boleh Diskriminatif. Maka apabila suatu organisasi dibubarkan karena massa / anggotanya dinilai anarkis, maka semua Ormas dan Orsospol serta LSM apa pun yang massa / anggotanya melakukan tindak anarkis harus juga dibubarkan


DILEMATIS UU No. 8 Th. l985 & PP No. 18 Th.1986 tentang Ormas


Sejak FPI dideklarasikan 8 (delapan) tahun lalu, FPI telah mendaftarkan organisasi ke Departemen Dalam Negeri – Republik Indonesia (Depdagri) dengan kelengkapan semua persyaratan, seperti AD/ ART, Hasil Munas organisasi, Notaris Pembentukan,Daftar cabang organisasi di seluruh Indonesia, susunan pengurus daripusat hingga daerah. Tapi pendaftaran tersebut sengaja dipersulit, digantung dan ditendang sana-sini oleh Depdagri hingga saat ini dengan alasan FPI berazas Islam, bukan Pancasila.


  • Jika FPI dibubarkan dengan dalili berazaskan Islam dan tidak berazaskan Pancasila, maka apakah pemerintah juga akan membubarkan Muhammadiyah dan ICMI karena keduanya juga berazaskan Islam. Bahkan hampir semua Ormas Islam yang ada berazaskan Islam bukan Pancasila, apakah semua Ormas Islam juga akan dibubarkan. Padahal Muhammadiyah dan ICMI beserta ormas-ormas blain lainnyaberperan besar dalam pembangunan bangsa dan negara.
  • Jika FPI dibubarkan dengan dalih tindak anarkis yang dilakukan massa / anggotanya yang menyereng Industri Ma'siat seperti pelacuran, perjudian, ekstasy, miras, pomografi, pornoaksi, premanisme, dll, untuk menjaga moral bangsa. Lalu bagaimana dengan Ormas / Orsospol serta LSM yang menggerakkan massa / anggotanya melakukan tindakan brutal dan biadab atas nama demokrasi dan kemanusiaan, seperti pembakaran pendopo Bupati Tuban, menebangi pohon-pohon di jalan, membakar pesantren, merusak sekolah, menghadang Habib, meneror Kyai, mengancam Santri, menghina Islam, mernfitnah gerakan Islam, dll.
  • Jika FPI dibubarkan dengan dalih melanggar UU No 8 Th.l985 tentang Ormas dan PP No.18 Th 1986 tentang Pelaksanaan UU Ormas terkait azas tunggal Pancasila. Lalu bagaimana dengan Ormas /LSM Komprador yang selama ini telah secara terang-terangan langgar UU dan PP tersebut dengan menjadi kaki tangan asing dan menerima bantuan asing tanpa sepengetahuan pemerintah, karena UU dan PP tersebut di atas juga secara tegas melarang itu.
  • UU No 8 Th.l985 tentang Ormas dan PP No 18 Th 1986 tentang Pelaksanaan UU Ormas adalah Produk Orba yang bertentangan dengan tuntutan Reformasi karena masih menganut azas tunggal Pancasila. Jika UU Orsospol yang semula juga menganut azas tunggal Pancasila bisa diamandemen sehingga Orsospol bebas menggunakan azas, lalu kenapa UU Ormas tidak diamandemen untuk persoalan yang sama. Ironis, jika Orsospol yang bersentuhan langsung dengan politik dan system sudah dibebaskan dan kungkungan azas tunggal Pancasila, sementara Ormas masih harus dipasung dengan azas tunggal Pancasila.


AYO BUBARKAIN LSM KOMPRADOR (ANTEK ASING)


Karena


1. MENGHINA ISLAM
2. PEMBELA KEMA'SIATAN
3. PELINDUNG ALIRAN SESAT
4. MENJADI ANTEK NEGARA ASING
5. PENGKHIANATA PANCASILA DAN UUD 1945
6. MEMBENTUK MILISI YANG DIBERI PELATIHAN MILITER
7. MENGGADAIKAN BANGSA DAN NEGARA UNTUK NEGARA ASING
8. MENERIMA BANTUAN ASING TANPA SEPENGETAHUAN PEMERINTAH
9. MENGADU - DOMBA ANAK BANGSA DAN MEMECAH – BELAH PERSATUAN


DAFTAR LSM PENUNTUT PEMBUBARAN FPI, FBR, FUI, MMI & HTI


Jemaat AHmadiyah Indonesia (JAI), Garda Bangsa dan Pencak Silat Pagar Nusa versi Gus Dud, Garda Kemerdekaan (GK), Pemuda Demokrat (PD), Banteng Muda Indonesia (BMI),Aliansi Masyarakat Anti Kekerasan (AMAK), SKP - HAM, Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem), Institut Indonesia Muda (IIM), Gerak Indonesia (Gl), FPPI, Pendawa, Gerakan Revolusi Nurani (GRN), Aliansi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKBB), Aliansi Betawi Bersatu (ABB), YLBHI & Jaringan Islam Liberal (JIL)


----------------------------------

What do you think? I see pigs.

Sunday, April 11, 2010

Menelepon Sambil Mengemudi Dipidana?

Beberapa bulan lalu, banyak sekali pemberitaan beredar yang mengatakan bahwa terdapat ketentuan yang diterapkan pihak Kepolisian Lalu Lintas yang dapat menjatuhkan hukuman pidana kepada siapa saja yang kedapatan menggunakan handphone sambil menyetir. Hal ini ternyata tidak terbukti kebenarannya seiring dengan konfirmasi dari pihak humas Kepolisian Lalu Lintas di beberapa media. Memang benar, bahwa mengemudi butuh konsentrasi penuh sehingga dianjurkan untuk tidak menggunakan handphone sambil mengemudi. Namun, tidak benar adanya apabila seseorang dapat dijatuhi hukuman pidana hanya karena penggunaan telephone selular.

Bukan hanya pemberitaan yang marak di Blackberry Messenger tersebut, namun ternyata di masyarakat sudah tersiar kabar bahwa benar adanya pemidanaan terhadap pengguna telephone selular. Hal ini katanya diperkuat dengan apa yang diatur di dalam Undang Undang Lalu Lintas. Serta maraknya pemberitaan di media seakan menguatkan kebenaran pemidanaan tersebut.

Memang benar, mengemudi merupakan pekerjaan yang butuh konsentrasi yang besar. Mengemudi membutuhkan tingkat fokus yang tinggi karena resiko bahayanya pun sangatlah besar. Pada tahun 2002, Laboratorium Penelitian Transportasi di Berkshire, Inggris mengeluarkan hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa pengguaan telepon genggam saat mengemudikan mobil lebih berbahaya dibandingkan mereka yang mengkonsumsi minuman beralkohol melewati batas yang diizinkan bagi pengendara kendaraan. Tes tersebut menunjukkan reaksi pengemudi mobil rata-rata lebih lambat 30 persen saat berbicara menggunakan telpon genggam dibandingkan saat seseorang mengkonsumsi minuman alkohol. Selain itu pengemudi juga cenderung kurang dapat menjaga kestabilan kecepatannya dan kurang berhati-hati menjaga jarak dengan kendaraan lainnya, yang ada di depannya. Sebuah perusahaan asuransi Direct Line yang terlibat dalam penelitian ini menemukan 4 dari 10 pengemudi yang mengalami kecelakaan di jalan raya, mengaku menggunakan telpon genggam saat mereka mengemudikan kendaraannya. Namun, pemidanaan terhadap penggunaan telephone selular saat mengemudi adalah hal yang patut di cek kebenarannya.

Memang benar, Pasal 106 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyatakan bahwa setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi. Dan mungkin, interpretasi masyarakat akan pemidanaan karena menggunakan telephone genggam muncul atas pemahaman terhadap Pasal 282 UU Lalu Lintas ini.

Pasal 282 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tersebut berbunyi demikian:

Setiap Orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).


Memang benar, penggunaan telephone genggam dapat mengakibatkan gangguan konsentrasi pada aktivitas mengemudi. Namun, hal ini harus diimplementasikan secara hati-hati karena dapat memicu praktik praktik pemerasan yang dilakukan oleh oknum oknum yang tidak bertanggung jawab. Maka dari itu, bukan bermaksud untuk mengenyampingkan bahaya penggunaan telepon genggam pada saat mengemudi, namun terdapat beberapa hal yang patut di garis bawahi terhadap interpretasi pasal tersebut.
Yang paling penting adalah pemidanaan yang diberikan Pasal ini tidak dapat secara serta merta memidanakan penggunaan telephone genggam. Penggunaan telephone genggam memang masuk ked dalam kegiatan yang dapat mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di Jalan, namun hal tersebut harus diabrengi dengan cara mengemudi yang tidak wajar. Semangat pasal ini bukan hanya semata-mata memidanakan aktivitas yang dapat mengakibatkan gangguan konsentrasi tersebut, namun kegiatan mengemudi yang tidak wajar yang karena adanya gangguan konsentrasi akibat kegiatan lain atau suatu keadaan lain.

Hal ini menyebabkan dalam pemidanaan sesuai dengan pasal ini, terdapat 2 (dua) hal yang harus dibuktikan. Yang pertama, adanya kegiatan mengemudi yang tidak wajar. Dan yang kedua, adanya kegiatan lain atau suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dan mengemudi di Jalan tidak wajar dan penuh konsentrasi.
Penggunaan telephone genggam dapat dikenai pemidanaan apabila akibat menggunakan telephone genggam tersebut pengemudi menyetir dengan tidak wajar. Namun, apabila kegiatan tersebut tidak mengganggu konsentrasi, hal tersebut sah-sah saja dilakukan.
Sehingga, maksudnya adalah, tidak dapat dilakukan suatu pemidanaan hanya karena seseorang menggunakan telephone genggam. Lebih sederhana lagi, tidak boleh seseorang dijatuhi hukuman penjara hanya karena ia menggunakan telephone genggam pada saat mengemudi.

Namun sekali lagi, hal ini bukan berarti menggunakan telephone genggam tidak berbahaya. Memang seharusnya setiap orang tidak melakukan aktifitas menelephone sambil mengemudi.
Yang terpenting adalah kesadaran masyarakat akan keamanan mengemudi. Polisi dapat memberhentikan pengemudi yang melakukan aktifitas dengan telephone genggamnya saat mengemudi HANYA UNTUK MENGINGATKAN apabila pengemudi tersebut masih mengemudi dengan wajar.

So, drive safe people.

Wednesday, July 15, 2009

Indonesia's Law Enforcer Should Pay More Respect to Children's Rights

Indonesia's Law Enforcer Should Pay More Respect to Children's Rights

by: Christine Tambunan

originally published on http://www.upiasia.com/Human_Rights/2009/07/15/indonesia_must_protect_childrens_rights/6085/

July 23 is known as the National Children Day in Indonesia. This occasion was set up with the purpose of respecting children rights in Indonesia. It is the day for Indonesia to fully understand that respecting, fulfilling, and protecting children rights is a crucial ingredient for children to better grow; without which, Indonesia’s future generation is likely blighted. Sadly, in this month, many Indonesians were shocked by one infamous children case: the ten shoe-shiners case.

There are ten boys who daily work as shoe-shiners at the International Airport in Jakarta, are now facing long and exhausted court hearing. It was all started on May 29 when they were arrested by the Soekarno-Hatta International Airport Resort Police for allegedly gambling in the airport area. The youngest is at 11 years old and the oldest one is 15 years old. They all come from impoverished families live nearby the airport and work daily as shoe-shiners to earn a living.

Unfortunately, on that day, there was a security operation that forced them to hide in the bus park. While were waiting the operation to be over, they spent their time by spinning one coin of IDR 500. They spin the coin, and then close it, and the rest should guess which side would appear. To make the game more thrilling, they placed a bet around IDR 1.000 (approx. 10 US cent) each child.

They were investigated without legal assistance and then were transferred to Children’s Prison in Tangerang. The police detained them for a month before finally released them on June 26 2009, due to considerable public pressure. Miserably, however, the police continued the case by conveying the case to Tangerang District Prosecutor and now are facing trial.

Apart from having traumatic experience, these children, as a consequence of one month detention, had to miss their national exam and resulted in failed to go to the next grade. They also couldn’t meet their parents easily during the investigation because of their parents are poor, so it was hard for them to get into the police station as it was far from their home and needed extra money.

According to the Indonesian law, juvenile cases should be tried before the Juvenile Court. The law itself calls for special consideration and treatment when dealing with crimes involving underage children. Under the law, juvenile cases should place the best interest of the children at the utmost priority. For juvenile delinquent facing criminal sanctions and the legal system for the first time, the police play a significant role in the initial stages. Police officers essentially determine whether the juvenile should be released without charge or face the next stage of prosecution. If the arrest is deemed necessary, the public prosecutor then decide once more whether the offender should be released, or face the juvenile court.

In this case, one month detention was of course disproportionate and redundant. The police should have known that these children were on their academic year and the national exam was coming. Detaining them was only bringing more harm than good. Shockingly, when their parents requested a bail, the police refused to release them and decided to extend the detention.

If one looks thoroughly into the case, one would see that this whole case reflects two main problems –apart from the legal-technical issues. Firstly, is the poverty that surrounds these children. Their parents’ income is only around IDR 5.000 (approx USD 0.5) per day, which to a certain extent forced these children to get extra earning for the family by being a shoe-shiner after school. Their decision to shoe-shine after school is neither theirs nor their parents to blame. Having come from underprivileged families, playing around after school would be deemed as a waste of time. Socially-environment pressure leaves them no option other than earning more money for families’ need. This poignant landscape is common in poor families as the parents encourage their children to work. And of course, they can not work in a formal sector because some of them are illiterate. Thus, shoe-shining in the airport which is close to their house is preferable.

Secondly, is the good image that the police want to create if they can send more people to the prison. It suggests to public and the superior that they have succeeded in ensuring justice is done. By sending these ten ‘gambler’, the local police give an impression that they have managed to investigate criminal acts and successfully participate in creating a clean and comfortable airport so it would be nice to look at. But then again, did the police action to investigate and detain these children is a wise option? Creating a nice image of Indonesia’s main international airport, should not sacrifice children’s rights. Handling children case like this should be taken care with extra attention as they are vulnerable. They are still in a developing period. If they are stamped with a ‘suspect’, ‘defendant’ or ‘prisoner’ status, it will only bring negative effect and blacklisted them when they are adult.

Considering the conditions in Indonesia’s penitentiaries, detention is a particularly serious threat to a child’s interests. Children’s prisons, like adult facilities, are overcrowded and poorly equipped at best. Moreover, many children are forced to remain in adult prison while they await trial and a verdict. In adult prisons, children are vulnerable to many levels of abuse, including physical, sexual and mental abuse.

Indeed, there should be other institution better than prison to give service in consulting children’s criminal mental and thoughts. Ultimately, to ensure that children’s rights in relation to criminal issues are fulfilled, Indonesia should tackle its poverty problem as well as reform its penal and juvenile system.

Tuesday, June 09, 2009

Syarat Nikah Bebas HIV/AIDS: Melenggangkan Stigma terhadap ODHA

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH) Masyarakat mengecam keras rencana Wakil Gubernur Bengkulu yang didukung oleh Kantor Wilayah Departemen Agama Bengkulu untuk memasukkan ketentuan bebas HIV/AIDS sebagai syarat pra-nikah. Langkah tersebut justru terlalu berlebihan dan tidak proporsional dalam upaya pencegahan HIV/AIDS.

Merebaknya HIV/AIDS di Indonesia memang mengkhawatirkan dan merupakan persoalan yang harus segera diatasi. Namun, resolusi untuk persoalan tersebut harus tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) universal. Perwujudan HAM adalah kunci utama untuk dapat mengurangi permasalahan yang menyelimuti HIV/AIDS.

Sudah terlalu banyak orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) mengalami stigmatisasi, diskriminasi, dan berbagai bentuk pelanggaran HAM seperti penyiksaan, pembatasan hak atas kesehatan dan hak atas pekerjaan serta pengabaian hak atas persamaan di hadapan hukum dan lain sebagainya. Memasukkan bebas HIV/AIDS sebagai salah satu persyaratan untuk dapat melangsungkan pernikahan jelas bukanlah jawaban untuk mengatasi penyebaran HIV/AIDS. Sebaliknya, syarat semacam itu justru semakin menegaskan bahwa negara tidak menghormati HAM orang yang hidup dengan HIV/AIDS.

Pencegahan HIV /AIDS seharusnya dilakukan dengan cara yang tepat sasaran, bukannya justru memerangi manusianya. Memasukkan ketentuan bebas HIV/AIDS sebagai syarat nikah malah menutup ruang gerak ODHA untuk mengembangkan hidupnya dan meminggirkan mereka dari masyarakat hanya karena status HIV/AIDS-nya.

LBH Masyarakat memandang bahwa upaya pencegahan HIV/AIDS tetap dapat dilakukan dalam kerangka HAM seperti di bawah ini:
1. Memastikan program nasional HIV/AIDS terdapat langkah-langkah untuk melawan stigma, diskriminasi dan kekerasan terhadap ODHA dan orang-orang yang berpotensi terinfeksi HIV/AIDS;
2. Memastikan kaum muda mendapatkan akses penuh terhadap segala informasi yang berkaitan dengan HIV/AIDS dan seksualitas;
3. Melakukan pemberdayaan hukum terhadap ODHA sehingga mereka mengetahui hak-hak hukum mereka;
4. Melakukan reformasi institusi lembaga pemasyarakatan (lapas) untuk mengurangi jumlah narapidana yang telah melebihi kapasitas yang ada (overcrowded), menciptakan kondisi yang higienis di dalam lapas dan untuk mengurangi tingkat kerentanan penyebaran HIV/AIDS;
5. Menghapus hambatan-hambatan hukum maupun hambatan yang sifatnya non-hukum terhadap upaya pencegahan dan perawatan HIV/AIDS;.
6. Membuka ruang pengaduan yang efektif bagi para pekerja seks, laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, dan kelompok-kelompok marjinal lainnya yang rentan HIV/AIDS yang kerap mengalami perlakuan diskriminatif dan kekerasan;

LBH Masyarakat dengan ini mendesak Kantor Wilayah Departemen Agama Prov. Bengkulu dan Pemerintah Provinsi Bengkulu untuk menghentikan segala langkah-langkah yang menjadikan kriteria bebas HIV/AIDS sebagai salah satu syarat pranikah. Upaya pencegahan penyebaran HIV/AIDS tidaklah boleh mengorbankan hak asasi setiap orang tanpa terkecuali termasuk orang yang hidup dengan HIV/AIDS.

Jakarta, 10 Juni 2009
Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat


Ricky Gunawan
Direktur Program

Friday, June 05, 2009

World Environmental Day


Hari ini, 5 Juni 2009 adalah Hari Lingkungan Dunia. Mungkin belum banyak dari kita yang mengenal apa itu Hari Lingkungan Dunia atau sering disebut dengan World Environment Day (WED).

World Environment Day pertama kali dibuat oleh Sidang Umum PBB tahun 1972 dalam rangka pembukaan Konferensi Stockholm (Stockholm Conference on the Human Environment.)

Diperingati setiap tanggal 5 Juni, World Environment Day adalah sarana penting yang digunakan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk meningkatkan kesadaran dunia akan lingkungannya dengan meningkatkan perhatian politik dan tindakan kongkrit atau aksi. Agenda dari peringatan ini adalah untuk:

  1. Memberikan gambaran kepada manusia mengenai isu lingkungan;
  2. Memberdayakan masyarakat menjadi pelaku aktif dalam pembangunan yang adil dan berkelanjutan;
  3. Mengkampanyekan kesepahaman bahwa keberadaan manusia adalah penting untuk mengubah perilaku terkait dengan isu lingkungan;
  4. Mengadvokasi kemitraan yang akan menjamin seluruh bangsa dan negara menikmati masa depan yang lebih makmur dan aman.

Tema WED tahun 2009 hari ini adalah Your Planet Needs You – Unite to Combat Climate Change (Planetmu membutuhkanmu – Bersatu Melawan Perubahan Iklim). Tema ini menggambarkan sangat mendesaknya kebutuhan akan bangsa-bangsa untuk mencapai kesepakatan baru dalam pertemuan penting konvensi iklim di Copenhagen yang akan diadakan 185 hari lagi, dan hubungannya dengan kemiskinan dan manajemen hutan yang lebih baik.

Tuan rumah Hari Lingkungan Dunia kali ini adalah Meksiko yang menggambarkan mengenai pertumbuhan peran negara Amerika Latin dalam memerangi perubahan iklim, termasuk perannya yang semakin meningkat dalam perdagangan karbon.

Mexico juga adalah partner terdepan dalam Kampanye 1 Milyar Pohon UNEP. Negara ini, dengan dukungan presiden dan rakyatnya, mempelopori janji dan penanaman 25 persen pohon dari jumlah yang dikampanyekan. Dilaporkan atas 1.5 persen berkontribusi dalam pemancaran gas rumah kaca global, negara ini menunjukkan komitmennya terhadap perubahan iklim.

Presiden Mexico Felipe Calderon menyampaikan bahwa Hari Lingkungan Dunia akan menunjukkan kebulatan tekad Mexico untuk mengatur sumber daya alamnya dan menghadapi tantangan paling besar abad 21 yaitu Perubahan Iklim.

Memang sudah saatnya kita peduli akan apa yang terjadi dengan lingkungan kita. Maka dari itu, saya mengajak teman-teman pada hari ini untuk:

  1. Tidak membuang sampah sembarangan
  2. Membagi tempat sampah menurut jenis sampahnya.
  3. Tidak menggunakan kendaraan pribadi
  4. Mematikan laptop apabila tidak dipakai
  5. Mematikan lampu pada sianghari
  6. Menanam satu pohon di halaman rumah
  7. Menyebarkan tulisan ini kepada teman-teman

Dan hal-hal juga tindakan lain yang dapat menyelamatkan bumi kita dari kehancuran.

Regards,

Christine Tambunan

Saturday, May 09, 2009

Indonesia Must Combat AIDS Ignorance

original text by Ricky Gunawan, S.H.
you can access the original article in UPIAsia.com

Jakarta, Indonesia — Just a week ago a five-year-old boy living in Sipoholon village in North Sumatra, Indonesia, was expelled from his village by local residents for a simple and irrational reason: he has AIDS. This is understandable only if one examines how misinformation spreads among people who are not fully aware or appropriately informed about HIV/AIDS.

The child Rudy (not his real name) lost his mother in February and his father in December last year. Both died due to AIDS. He is now hospitalized in the Pirngadi General Hospital in Medan and cared for by his elder brother. Other family members are reluctant to touch him, as they are terrified of getting infected. Neighbors have excluded him from the community.

Rudy’s condition is deteriorating as he is also suffering from malnutrition. Due to these problems, his brother has dropped out of school to ensure that Rudy receives proper medication.

In Jakarta, Sally (not her real name) is HIV positive. Her husband died last August. She has a two-year-old son who does not have AIDS. According to Indonesian family law, her only son can be a beneficiary to the family’s wealth. However, family members from his father’s side decided against transferring any property to him due to his mother’s condition. In addition, they have expelled her and her son from their family.

According to the Medan Health Agency, a government institution under the Ministry of Health, only seven hospitals out of 65 in Medan, North Sumatra, are willing to provide medicines to people with AIDS. Surprisingly, those hospitals unwilling to treat AIDS patients are scared that patients might transmit the disease through the air.

It seems that even hospital workers do not know that HIV/AIDS is transmitted through unsafe sexual intercourse with an infected person, blood transfusions with contaminated blood, contaminated syringes, needles or other sharp instruments and from an infected mother to her child during pregnancy, childbirth and breastfeeding. It is not passed on through the air.

These tragedies remind us that people living with HIV/AIDS are still vulnerable to human rights violations such as discrimination as well as social exclusion. These heartbreaking stories show how hard it is for such people to live with dignity.

In Indonesia, it is widely known that people with AIDS face discrimination and are stigmatized by society. They are denied the right to the highest attainable standard of health, the right to work and to education. They are also frequently deprived of their right to protection and equal status before the law.

In Indonesia’s patriarchal culture, where women’s status is lower than that of men, women are more vulnerable and susceptible to serious human rights violations if they suffer from AIDS. Moreover, regardless of the source of infection, society tends to stigmatize them as leading transmitters of the disease.

Health centers with poor facilities are prone to prejudice and stigma against people with HIV/AIDS, particularly women. Social guilt and domestic violence add to the problems and often prevent women from seeking treatment.

At the 2006 High-Level Meeting on AIDS in New York, world leaders reaffirmed their commitment to fight the disease in a statement that said, “The full realization of all human rights and fundamental freedoms for all is an essential element in the global response to the HIV/AIDS pandemic.” Yet, locally in Indonesia and globally elsewhere, this “essential element” remains deficient in the struggle against the disease.

In Indonesia, human rights have not been effectively merged with the fight against AIDS. The country’s national HIV program lacks adequate measures to combat discrimination, social exclusion and other human rights violations against those who suffer from this fatal disease.

Even human rights defenders in Indonesia seem to be confused and unable to comprehend the significance of HIV prevention and treatment programs. Such groups often ignore those who face the highest risk of getting HIV, such as drug addicts, sex workers and men who have sex with other men. These vulnerable people receive the least amount of interest when it comes to human rights advocacy.

The criminal-based approach implemented by the Indonesian government toward the worst affected has generated stigma and revulsion. It has dragged these people away from civil society so they have become a “hidden population,” without access to health services, preventive measures or treatment.

The numbers of people with HIV/AIDS in Indonesia are alarming. The Indonesian government has done much to tackle the problem and deserves appreciation. But further challenges need to be immediately addressed, like providing HIV treatment with adequate regard for human rights.

Health officers must be educated to erase the stigma and discrimination against HIV-positive persons. Criminal laws and drug policies must be reformed so that those who face the highest risk of HIV can receive medical treatment, rather than incarceration.

HIV/AIDS is not just a health issue. It is a human rights issue as well. Until the war is won against this disease, those who suffer from it must be treated with dignity and their human rights must be protected.

--

(Ricky Gunawan holds a law degree from the University of Indonesia. He is program director of the Community Legal Aid Institute, or LBH Masyarakat, based in Jakarta. The institute provides pro bono legal aid and human rights education for disadvantaged and marginalized people.)

Saturday, April 11, 2009

Indonesia's Appaling Prison Condition

Jakarta, Indonesia — John – not his real name – is a prisoner who was taken into custody by the Kebayoran Baru Sector Police in Jakarta, Indonesia, on March 12. But what makes him different from other detainees is that he is HIV positive. He has been held under conditions so miserable that they amount to cruel, inhuman and degrading treatment.

On March 23, his parents found out that John was suffering severely. He was sick, and had neither eaten nor drunk for a very long time. His face was pale and he couldn’t stop trembling.

John had been held at the police station from March 13, but due to his poor physical condition he was transferred to the Soekanto Police Hospital on March 25, after his family’s bail request had been rejected. In the hospital, he was placed in an isolation room in a building reserved for sick prisoners.

The ambience at the medical facility is more like a prison than a hospital, with patients kept in rooms behind iron bars and locked with huge padlocks. Apart from the smell of drugs, the place is permeated with the unpleasant odors of blood and feces.

The hospital wards contain four or five beds, fully occupied. There is a toilet in the room behind a low wall, with no door.

John was placed in one of three isolation rooms in the building. Normally, only mentally ill detainees are put in these rooms, which are only about two square meters in size. The room contained no bed or mattress. There was no proper light or ventilation, the walls were dirty and full of graffiti and the floor was covered in puddles and dirt. There was a toilet behind a low wall, and no clean water. Sanitation was appallingly lacking.

John was found lying in this room, staring blankly and unable to talk. He had received no medical treatment since his arrival. He would be seen by a doctor only after April 13, for the absurd reason that April 9 is a general election, April 10 is Good Friday, and April 11 and 12 are a weekend.

The poor treatment John received at the hands of the police is more or less typical for prisoners in Indonesia, especially those with HIV/AIDS.

The U.N. Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners state that sick detainees should be transferred to specialized institutions or to civil hospitals, where they should receive proper medical care and treatment from suitably trained personnel.

The rules require that a medical officer examine every prisoner as soon as possible and take all necessary measures to restore his or her health. The medical officer is responsible for the physical and mental health of the prisoners, and should daily see all sick prisoners and all who complain of illness.

The officer must also ensure the hygiene and cleanliness of the institution and the prisoners, the sanitation, heating, lighting and ventilation of the building, and the suitability and cleanliness of the prisoners' clothing and bedding.

Furthermore, the U.N. Office on Drugs and Crime, in conjunction with the World Health Organization and UNAIDS, has recommended that Indonesia reform its correctional facilities and detention centers with regard to the health conditions of detainees. It stated that clinical services are an important component of programs to cope with HIV/AIDS and drug abuse.

In response to the recommendations, Indonesia issued a plan to strengthen the clinical services in prisons by 2010, in which the government promised to provide optimal services to every prisoner in accordance with the Universal Declaration of Human Rights and other international human rights treaties, as well as national regulations concerning the treatment of prisoners.

With so many laws regulating the right to health for the detainee or prisoner, how could there be such a place as the hospital to which John was sent? The head of the Health and Medical Center of the National Police General, Brigadier (Pol) Bambang, in an interview in 2005 stated that insufficient funds were the main problem. Also, apparently there is no law stipulating which institution is responsible for financing prisoners’ medical care. Therefore the costs have been taken from the police’s health and medical budget, placing serious financial restraints on services.

John’s condition is indeed grave and the care he is receiving is far from adequate. He is suffering truly inhuman treatment, incompatible with human rights principles. His sad story demonstrates the urgent need for an independent monitoring body to ensure that prisoners receive adequate care and treatment in the future.

--

(Christine Tambunan is a research associate at the Community Legal Aid Institute – LBH Masyarakat – in Jakarta, Indonesia. She is currently studying at the Faculty of Law University of Indonesia, majoring in legal practice. Her interests include issues of torture, monitoring detention, freedom of religion, social justice and development. LBH Masyarakat provides pro bono legal aid for disadvantaged and marginalized people.)



you can see the original post on http://upiasia.com/Human_Rights/2009/04/08/indonesias_appalling_prison_conditions/4011/